Rindu yang Tersimpan di Pintu Pesantren

 


Rindu yang Tersimpan di Pintu Pesantren

    Di balik pintu pesantren yang sederhana, ada rindu yang diam-diam tumbuh setiap hari.
Rindu yang menempel di dinding-dinding kamar, pada tikar yang digelar menjelang malam, pada suara ngaji yang merambat pelan di antara angin.
Rindu yang tidak pernah diminta hadir, tetapi selalu setia menemani hati yang sedang ditempa.
Ia bersembunyi di sela-sela doa yang terucap lirih, berharap sampai pada mereka yang jauh di sana.

    Rindu itu menyelinap ketika lonceng subuh berdering, memanggil santri bangun dari lelapnya.
Di antara langkah menuju musala, rindu menari-nari bersama embun pagi yang menetes di mata.
Ia bukan air mata kesedihan, melainkan keteguhan hati untuk tetap bertahan dalam perjuangan menimba ilmu.
Pada setiap jejak kaki, tersimpan tekad dan harapan yang tak pernah padam.

    Kadang rindu itu tumbuh menjadi getir, ketika malam turun bersama sunyi yang panjang.
Santri memandang langit gelap, seakan mencari wajah-wajah yang dirindukan dalam gugusan bintang.
Namun sunyi itu justru menguatkan, mengajarkan tentang ikhlas yang tidak pernah diajarkan di kelas mana pun.
Bahwa jarak bukan penghalang, melainkan jalan pulang bagi doa-doa yang menunggu jawabannya.

    Rindu juga hadir dalam bentuk yang paling lembut, ketika sahabat menjadi keluarga kedua.
Tawa yang sederhana, canda yang melegakan, dan bahu yang selalu siap menjadi sandaran.
Di pesantren, rindu menemukan caranya sendiri untuk berubah menjadi kekuatan.
Kekuatan yang membuat setiap hari terasa penuh makna, meski jauh dari rumah.

    Dan pada akhirnya, di pintu pesantren itulah semua rindu bermuara.
Menunggu waktu pulang, menunggu pelukan hangat yang lama dirindukan.
Tetapi sebelum itu tiba, rindu akan terus menjadi cahaya kecil yang menjaga semangat belajar.
Sebab di pesantren, rindu bukan hanya perasaan—ia adalah guru kehidupan yang menguatkan langkah menuju masa depan.

Komentar